Mataram Kuno II

Sejak berkuasanya Pu Sindok maka Jawa Timur menggantikan Jawa Tengah sebagai pusat pemerintahan Mataram Kuno. Pu Sindok berkuasa dari tahun 929 sampai 947 dan meninggalkan banyak prasasti. Kebanyakan dari prasasti Pu Sindok berisikan tentang pembebasan tanah dari pajak untuk keperluan bangunan-bangunan suci. Selain prasasti, di masa Pu Sindok juga terhimpun sebuah kitab suci agama Budha, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan ajaran dan ibadah agama Budha Tantrayana.

Pu Sindok memerintah bersama dengan permaisurinya Sri Prameswari Sri Wardhani pu Kbi dengan gelar Sri Maharaja rake hino sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mula-mula Pu Sindok tidak menggunakan gelar maharaja, dan hanya menyebut dirinya rakyan Sri Mahamantri pu Sindok sang Srisanottunggadewawijaya. Maka mungkin sekali ia telah menaiki tahta kerajaan karena perkawinannya dengan anak Sri Wijayalokanamottungga.

Pengganti-pengganti Pu Sindok diketahui dari Prasasti Calcutta keluaran Airlangga sebagai legitimasi kekuasaannya setelah Mataram Kuno mengalami pralaya. Dari prasasti itu diketahui bahwa Pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya Sri Isanatunggawijaya, yang bersuamikan Raja Lokapala. Dari perkawinan antara Sri Isanatunggawijaya dengan Raja Lokapala lahirlah anak laki-laki bernama Makutawangsawardhana. Makutawangsawardhana mempunyai anak perempuan yaitu Mahendradatta yang bersuamikan Raja Udayana dari Warmadewawangsa yang memerintah di Bali. Kemudian pada tahun 989 Mahendradatta bersama suaminya memerintah di Bali dengan gelar Sang Ratu Luhur Sri Gunapriyadharmapatni, sedangkan Makutawangsawardhana digantikan olah Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramottunggadewa pada tahun 991.

Dalam masa pemerintahannya, Darmawangsa berusaha keras untuk menundukkan Sriwijaya, yang sementara itu telah menguasai jalur laut India – Indonesia – Tiongkok. Setelah Dharmawangsa berhasil menundukkan Sriwijaya, maka yang menjadi raja Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa.  Sri Sudamaniwarmadewa kemungkinan memilki hubungan dengan Warmadewawangsa di Bali. Mengingat kala itu Jawa memiliki pengaruh yang kuat di Bali. Hal itu dibuktikan dalam prasasti-prasasti di Bali di mana nama Mahendaradatta selalu didahulukan dari pada Udayana, sehingga seakan-akan permaisurilah yang berkuasa. Selain itu sejak tahun 989 penulisan prasasti-prasasti di di Bali mulai mendapat pengaruh dari Jawa, bahkan sesudah tahun 1022 sebagian besar ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Dalam tahun 1016 Mataram Kuno mengalami pralaya (kehancuran). Dharmawangsa dan para pembesar kerajaan gugur dan menurut Prasasti Calcutta seluruh Jawa bagaikan satu lautan. Penyebab sesungguhnya dari pralaya ini belum diketahui secara pasti, hanya dengan adanya perkataan ”raja Wurawari sewaktu keluar dari Lwaram” pada Prasasti Calcutta memberikan kesan bahwa Mataram Kuno dimusnahkan oleh raja Wurawari. Raja ini tidak dikenal dari keterangan lain manapun, maka ada dugaan bahwa yang berada di balik peristiwa pralaya adalah Sriwijaya. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan digantikannya Sudamaniwarmadewa oleh anaknya yang bernama Marawijayotunggawarman. Marawijayotunggawarman mengaku dirinya sebagai keluarga Sailendra (kemungkinan hasil perkawinan Sudamaniwarmadewa dengan putri Sailendra)  dan tidak mau mengakuai kekuasaan Dharmawangsa.

Airlangga anak Mahendradatta yang telah dikawinkan dengan anak Dharmawangsa dapat meloloskan diri dari pralaya dan bersembunyi di Wanagiri beserta para petapa dan seorang abdinya bernama Narottama. Pada tahun 1019 ia dinobatkan menjadi raja pengganti Dharmawangsa oleh para pendeta. Sebagai raja ia bergelar Sri Maharaja Rake Hulu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Dalam Prasasti Calcutta Airlangga berusaha untuk membenarkan kedudukannya sebagai maharaja yang sesungguhnya berhak atas wilayah terdahulu dengan menjelaskan asal usulnya mulai dari Pu Sindok. Memang setelah pralaya Mataram Kuno terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tidak mau tunduk dan menggabungkan diri begitu saja. Sehingga sejak tahun 1028 Airlangga berusaha merebut kembali wilayah wilayah yang pernah dikuasai Dharmawangsa. Berturut-turut ditaklukkan Airlangga adalah: raja Bhismaprabhawa dalam tahun 1028-1029, raja Wijaya dari Wengker dalam tahun 1030, raja Adhamapanuda dalam tahun 1031, seorang raja perempuan dalam tahun 1032, raja Wurawri dalam tahun 1032, dan Wengker yang kembali meberontak dalam tahun 1035.

Setelah memperoleh kembali wilayah yang dianggap memang menjadi haknya, Airlangga berusaha memakmurkan rakyatnya. Setelah sejak tahun 1031 berada di Wwatan Mas, maka pada tahun 1037 ibukota kerajaan dipindahkan ke Kahuripan. Semenjak itulah kerajaan Airlangga memasuki babak baru dan lebih dikenal dengan  Kerajaan Kahuripan.

Sumber: Soekmono R. 2007. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. Yogyakarta